June 4, 2011 | Posted in:Inspirasi
“Jika kita melakukan sesuatu, lakukanlah semuanya seperti kita
melakukan untuk Tuhan”.
Hari-hari terakhir pekerjaan kantor sangat melelahkan. Tidak ada waktu untuk ‘memanjakan’ diri sendiri. Bahkan saat akan beristirahat pun, segala masalah dan tugas dalam pekerjaan selalu menghantui pikiran. Pagi ini, hari Senin, aku datang ke kantor dengan semangat yang sedikit lebih baik, setelah pada akhir pekan aku sempat untuk beristirahat. Saat kumasuki ruangan kerjaku, telpon berdering. Aku angkat dan terdengar teriak dari ujung telpon. “Ke ruangan saya sekarang”. Wah ada apa ini ? Pagi-pagi boss sudah marah-marah.
“Bagaimana ini? Kerja ngak pernah beres. Saya harus presentasi hari
ini, bahan yang kamu sediakan sama sekali tidak berguna. Buang-buang waktu saya saja.” Aku hanya terdiam, dalam hati aku sangat muak dan sebal mendengarnya. Minggu yang lalu, aku sudah ingatkan. Bahwa bahan presentasi yang beliau minta tidak akan mungkin dapat di selesaikan. Waktunya terlalu singkat. Sedangkan materinya sangat banyak. Saya usulkan untuk menggunakan presentasi yang sudah ada, dengan pembaharuan sedikit.”
Tapi bossku tetap memaksa untuk membuat bahan presentasi yang baru. Dengan bijaksana dia berargumen. “Ya sudah kamu persiapkan semampu kamu. Nanti saya akan bantu”. Sebenarnya saya sudah tahu, ini lagu lama, nanti pada akhirnya dia tidak akan membantu sama sekali dan ujung-ujung dia akan marah-marah, seperti saat ini.
Sebenarnya kalau mau jujur. Saya bisa saja menyelesaikan presentasi
tersebut kalau mau mencurahkan lebih banyak waktu untuk
mengerjakannya. Tapi, terus terang saya sudah malas dengan segala keinginan boss-ku. Nyaris setiap hari aku pulang larut malam. Pergi pagi pulang malam. Dari Senin sampai Sabtu. Dan segala pekerjaanku tidak pernah di hargai olehnya. Jadi aku pikir “masa bodoh dengan segala pekerjaan kantor. Aku sudah cape. Terserah deh, nanti jadinya apa. Gua kaga peduli”. Jadi Sabtu kemarin aku habis kan waktu dengan tidur seharian. Membaca buku, menonton
televisi, dengar kaset. Laptop yang tegeletak di atas meja tidak aku
sentuh sedikit pun. “Masa bodoh” pikirku. Boss ku masih saja mengoceh di depanku. Aku berpura-pura tertunduk dan menyesali segala kesalahanku. Padahal dalam hati, aku masa bodoh, setiap perkataannya tidak ada satu pun yang hinggap di dalam pikiran. Masuk kiri keluar kanan. Setelah 15 menit akhirnya keluar juga perkataan yang aku tunggu-tunggu. “Ya sudah. Keluar kamu.”
Aku kembali keruangan. Duduk. Kunyalakan komputer, seolah-olah hari
ini tidak ada apa-apa. Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah jam 12. Saatnya makan siang. Langsung saja ku buka bekal yang aku bawa dari rumah. Dengan tergesa-gesa kusantap setiap sandok makan siangku. Hari ini aku harus jalan lagi keluar kantor. Menemui kantor yang mengeluh atas jasa layanan yang perusahaan kami berikan. Sambil makan aku mulai berpikir “Wah cape kerja di sini mah. Bossnya ngak punya otak. Emang gua apaan, robot? superman ? Masa bodo ah, sekarang sih gua kerjain yang gua mau aja. Masa bodo dengan boss. Mau ini kek mau itu kek, itu sih urusan dia sendiri. Gua kagak mau peduli.”
Sendok terakhir telah masuk ke dalam perut. Wah, kenyang juga.
Kubenahi segala dokumen yang di butuhkan dan segera keluar kantor mencari taxi.
Sudah 5 menit aku menunggu, akhirnya taxi yang kutunggu datang juga.
“Daerah kota pak” Seruku pada supir taxi.
“Kotanya di mana pak?”, dia menimpali.
“Wah, namanya apa yah ?” aku sendiri tidak begitu ingat.
“Nanti saya tunjukkan jalannya kalau sudah sampai di sana”
“Baik Pak”. Suasana hening.
Tidak beberapa lama pak supir berkata, “Tadi orang yang pakai taxi
ini sebelum Bapak, naik dari Taman Anggrek”. Dekat amat pikirku. Kantor ku ada di daerah Citraland. “Kok mau sih pak?” ucapku.
“Wah tidak baik menolak rejeki. Kalau Tuhan sudah kasih berkat, masa
kita tolak”, ujarnya dengan logat batak yang masih terasa.
“Kalo supir lain sih pasti nolak. Kalau saya, ngak masalah, dekat atau
jauh toh berkat dari Tuhan.”, “Wah, berfilsafat dia.”, pikirku.
“Tapi sebenarnya untung juga sih kalau nariknya deket. Tadi saja saya
di kasih uang 10.000. padahal argonya ngak sampe 5 rebu. Saya senang juga.
Tapi sebenernya saya ngak tega kalo mesti nolak. Dia kan pasti mau
buru-buru. Bagaimana rasanya, sesudah duduk, eh malah saya tolak.
Sakit hati kan”.
“Iya juga yah”, pikirku. Suasana hening kembali.
Kuperhatikan wajahnya dari kaca mobil. Keliahatannya ceria, tidak
seperti sopir-sopir taxi yang lain. Yang rata-rata wajahnya cemberut.
“Bapak sudah lama jadi sopir taxi”, Tanyaku memecah keheningan.
“Baru empat tahun Pak.”
“Sebelumnya kerja di mana ?”
“Dulu saya kerja di perhotelan.”
“Kerja di bagian apa Pak ?”
“Manager operasioanl”.
Hah ? Tidak salah dengar ? Manager ? ngak mungkin ah..
“Anak buahnya banyak pak ?”, tanyaku sedikit menyelidik.
“Ada sekitar 100 orang”.
“Terus, koq sekarang malah jadi sopir taxi”
“Wah, panjang ceritanya Pak.”
“Oh.”, gumanku dan tidak bertanya lebih lanjut, kelihatannya ada
kenangan pahit yang dia alami. “Biasalah pak korban kena sikut”, ujarnya meneruskan, “Padahal dia teman baik saya. Tidak menyangka dia akan berbuat seperti itu. “Tapi buat saya itu ngak masalah. Saya percaya Tuhan pasti akan tetap pelihara saya. Buktinya saya langsung bisa dapat pekerjaan lagi. Walaupun tidak sehebat seperti dahulu. Yah, sudah cukup lah, untuk kebutuhan sehari-hari”.
“Kenapa Bapak tidak mencoba melamar di hotel lain ?”
“Nama saya sudah rusak Pak.”
“Pasti karena di fitnah oleh teman baiknya itu”, pikir ku.
Kuperhatikan lagi wajahnya. Tetap ceria seperti tadi. Tidak nampak
terbeban. “Lebih enak jadi sopir atau kerja seperti dulu Pak ?”, tanyaku.
“Wah, enak atau enggak tergantung hati kita Pak. Pokoknya kita mesti
sadar, bahwa apa yang kita punya saat ini, Tuhan yang memberi. Mengucap syukur senantiasa. Sukacita bukan datang dari luar, tapi dari dalam diri kita. Jadi kalau di tanya lebih enak mana, dulu atau sekarang, jawabannya yah: dua-duanya. Mau jadi apa aja ngak masalah, yang penting ada rasa syukur, pasti sukacita itu datang dengan sendirinya.”
Wah, jadi malu aku. Aku yang sejak kecil di didik dalam keluarga
percaya, masih mengeluh kan pekerjaan yang saya terima. Padalah kalau dibandingkan dengan sopir taxi, pekerjaan saya jauh lebih enak. Dengan penghasilan yang lebih tinggi tentunya. Tapi, dasar ! Nggak ada ucapan syukurnya. Aku jadi teringat akan nasehat yang mengatakan “Jika kita melakukansesuatu, lakukanlah segala sesuatu seperti kita melakukan untuk Tuhan”. Hmmm, hari ini aku di sadarkan kan oleh seorang supir taxi.
Hari ini aku di kuatkan kembali untuk selalu bersyukur dalam segala
hal (GBU).
Be the first to comment.